Sabtu, 23 April 2016

Waktu selalu berjalan dengan tegap tanpa menghiraukan risalah dari manusia itu sendiri. Tapi faktanya, manusia enggan untuk menyadari bahwa tiap detik demi detik umurnya telah digerogoti oleh waktu yang tak kenal oleh kesedihan duniawi yang fana. Sekujur tubuh ini hanyalah titipan agar kita tetap beribadah kepadaNya. Namun, kita sering lupa terkadang kita lebih senang berbicara, berteriak tak makna dan mendengar tak berisi dibanding dengan melakukannya untuk tabungan surgawi. Dan penyesalan pasti datang di akhir cerita.
Ironis memang jika apatis tak hanya diperuntukkan untuk lingkungannya, tapi untuk dirinya sendiri.  Diperintah kadang tak mau, dipaksa juga enggan berbuat. Mata, hati, dan telinga sering tak ada lagi gunanya. Untuk apa kita beragama? Ingatlah kepercayaan adalah hak masing-masing individu yang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Pada episode ini, matahari kian bersinar. Bersinar dengan terik jiwa membara, meninggalkan kisah kelam maupun manis tanpa mempedulikan yang pernah ku perbuat. Biarlah semua itu adalah kenangan. Terkubur bak harta karun yang akan ku gali, suatu saat nanti.
Dua puluh Tahun ku bernapas, aku masih berstatus “Struggle”. Menyusuri semua liku-liku rintangan yang ada adalah kewajiban bagi tiap manusia yang tegar. Ku titipkan anganku pada langit-langit diangkasa agar kelak jika aku terjatuh, aku berada di rembulan yang ditemani oleh bintang-bintang nan indah.
 Aku melihat diriku adalah bagian dari sejarah yang terkukir atas pertolongan Allah SWT, orang tua, saudara, guru, dan kerabat. Terima kasih ya Rabb, terima kasih abah, umi, dan teman-teman. Tak terpungkiri memang, manusia hidup menganut tabularasa, terukuir atas dasar lingkungan kita sendiri.  
Aku percaya jika suatu saat ibu pertiwi tersedu sedan, janjiku adalah mengabdi pada tanah air yang berjasa membesarkanku. Aku ingin menjadi tuan rumah di tanah negeriku tercinta, bukan menghardik ibu pertiwi yang banyak memberikan kita kebahagiaan. Sebab kebaikan manusia bukanlah dinilai dari kebahagiaan dari manusia itu sendiri, tapi dinilai dari kebahagiaan lingkungan sekitar kita untuk selalu memberi tanpa pamrih. Itulah harapanku pada bumi pertiwi tanah air Indonesia.
Senyuman manis yang terpancar pada Sang Raja Siang adalah harapan bagi tiap generasi yang siap berkorban untuk generasi berikutnya. Umur kita tak tahu sampai kapan. Tapi pertanyaannya, sudahkah hidup ini  mampu bermanfaat bagi lingkungan sekitar?
Aku masih jauh dari teladan. Aku butuh bimbangan dari tiap-tiap elemen. Hidup ini adalah sosial. Bukan individu, walau terkadang kita tetap butuh arti dari individualisme. Dan hati yang bersih adalah yang bisa membedakan keduanya itu.
Aku tak sendiri, kini semangat baru adalah suplemen agar aku tak lagi berada di lubang yang dulu pernah kelam. Sumpahku, aku ingin terus mengejar dunawi dan surgawi dengan rasio berimbang. Komitmen yang sulit ku jalani bukan berarti tak bisa. Walau hidup penuh godaan, aku tetap mengizinkan pada sanubari untuk mengingatkanku disaat lupa dan mengarahkanku disaat aku membutuhkannya agar aku terus menjadi manusia yang berguna.

Ditulis Oeh Muhammad Hasan Albanna. Banjarbaru, 17 November 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar