Waktu selalu
berjalan dengan tegap tanpa menghiraukan risalah dari manusia itu sendiri. Tapi
faktanya, manusia enggan untuk menyadari bahwa tiap detik demi detik umurnya
telah digerogoti oleh waktu yang tak kenal oleh kesedihan duniawi yang fana.
Sekujur tubuh ini hanyalah titipan agar kita tetap beribadah kepadaNya. Namun,
kita sering lupa terkadang kita lebih senang berbicara, berteriak tak makna dan
mendengar tak berisi dibanding dengan melakukannya untuk tabungan surgawi. Dan
penyesalan pasti datang di akhir cerita.
Ironis
memang jika apatis tak hanya diperuntukkan untuk lingkungannya, tapi untuk
dirinya sendiri. Diperintah kadang tak
mau, dipaksa juga enggan berbuat. Mata, hati, dan telinga sering tak ada lagi
gunanya. Untuk apa kita beragama? Ingatlah kepercayaan adalah hak masing-masing
individu yang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Pada episode
ini, matahari kian bersinar. Bersinar dengan terik jiwa membara, meninggalkan
kisah kelam maupun manis tanpa mempedulikan yang pernah ku perbuat. Biarlah
semua itu adalah kenangan. Terkubur bak harta karun yang akan ku gali, suatu
saat nanti.
Dua puluh
Tahun ku bernapas, aku masih berstatus “Struggle”.
Menyusuri semua liku-liku rintangan yang ada adalah kewajiban bagi tiap manusia
yang tegar. Ku titipkan anganku pada langit-langit diangkasa agar kelak jika
aku terjatuh, aku berada di rembulan yang ditemani oleh bintang-bintang nan
indah.
Aku melihat diriku adalah bagian dari sejarah
yang terkukir atas pertolongan Allah SWT, orang tua, saudara, guru, dan
kerabat. Terima kasih ya Rabb, terima kasih abah, umi, dan teman-teman. Tak
terpungkiri memang, manusia hidup menganut tabularasa, terukuir atas dasar
lingkungan kita sendiri.
Aku percaya
jika suatu saat ibu pertiwi tersedu sedan, janjiku adalah mengabdi pada tanah
air yang berjasa membesarkanku. Aku ingin menjadi tuan rumah di tanah negeriku
tercinta, bukan menghardik ibu pertiwi yang banyak memberikan kita kebahagiaan.
Sebab kebaikan manusia bukanlah dinilai dari kebahagiaan dari manusia itu
sendiri, tapi dinilai dari kebahagiaan lingkungan sekitar kita untuk selalu
memberi tanpa pamrih. Itulah harapanku pada bumi pertiwi tanah air Indonesia.
Senyuman
manis yang terpancar pada Sang Raja Siang adalah harapan bagi tiap generasi
yang siap berkorban untuk generasi berikutnya. Umur kita tak tahu sampai kapan.
Tapi pertanyaannya, sudahkah hidup ini
mampu bermanfaat bagi lingkungan sekitar?
Aku masih
jauh dari teladan. Aku butuh bimbangan dari tiap-tiap elemen. Hidup ini adalah
sosial. Bukan individu, walau terkadang kita tetap butuh arti dari
individualisme. Dan hati yang bersih adalah yang bisa membedakan keduanya itu.
Aku tak
sendiri, kini semangat baru adalah suplemen agar aku tak lagi berada di lubang
yang dulu pernah kelam. Sumpahku, aku ingin terus mengejar dunawi dan surgawi
dengan rasio berimbang. Komitmen yang sulit ku jalani bukan berarti tak bisa.
Walau hidup penuh godaan, aku tetap mengizinkan pada sanubari untuk mengingatkanku
disaat lupa dan mengarahkanku disaat aku membutuhkannya agar aku terus menjadi
manusia yang berguna.
Ditulis Oeh
Muhammad Hasan Albanna. Banjarbaru, 17 November 2014.